Beranda | Artikel
Hafalkanlah Al-Quran dan Hadits
Kamis, 1 April 2021

Selain berusaha mempelajari Al-Qur’an dan hadis dengan bimbingan para ulama, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan Al-Qur’an dan hadis. Karena pondasi dari ilmu adalah Al-Qur’an dan hadis.

Menghafalkan Al-Qur’an

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan,

طلب العلم درجات ورتب لا ينبغي تعديها، ومن تعداها جملة فقد تعدى سبيل السلف رحمهم الله، فأول العلم حفظ كتاب الله عز وجل وتفهمه

“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui. Barangsiapa yang melaluinya, maka dia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla (Al Qur’an) dan memahaminya.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2: 1129)

Menghafalkan Al-Qur’an juga kita lakukan dalam rangka upaya agar menjadi shahibul qur’an (pecinta Al-Qur’an). Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“Bacalah Al-Qur’an, karena dia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an.” (HR. Muslim no. 804)

Siapa itu shahibul qur’an? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam,

يؤمُّ القومَ أقرؤُهم لِكتابِ اللَّهِ

“Hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang aqra’ terhadap Kitabullah” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)

Makna aqra’ adalah yang paling hafal Al-Qur’an. Sehingga derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al-Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al-Qur’an. Namun dengan syarat, dia menghafalkan Al-Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia ataupun harta.” (Silsilah Ash-Shahihah, 5: 281)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Menghafal Al-Qur’an adalah mustahab (sunnah).” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 89906).

Namun yang rajih (lebih kuat) insya Allah, menghafal Al-Qur’an adalah fardhu kifayah, wajib di antara kaum Muslimin ada yang menghafalkan Al-Qur’an. Jika tidak ada sama sekali, maka mereka berdosa. (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 325)

Semakin banyak hafalan seseorang, akan semakin tinggi pula kedudukan yang didapatkan di surga kelak. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يُقالُ لصاحبِ القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ آيةٍ تقرؤُها

“Akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat), bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana Engkau membaca dengan tartil di dunia. Karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang Engkau baca.” (HR. Abu Daud no. 2240, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud)

Baca Juga: Keutamaan Belajar Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu

Menghafalkan Al-Qur’an hendaknya dimulai dari yang paling mudah dulu. Urutannya sebagai berikut:

  1. Hafalkan juz 30, lalu
  2. Hafalkan juz 29, lalu
  3. Hafalkan juz 28, lalu
  4. Hafalkan juz 1 – 27.

Dan hendaknya dalam menghafalkan Al-Qur’an, juga dibimbing oleh seorang guru yang bisa mengoreksi bacaan dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan, apakah dia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama. Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Mishri,

“Salah satu adab penuntut ilmu adalah memberi perhatian untuk mengoreksi pelajaran yang sudah dia hafal sebelumnya secara mutqin (sempurna) di depan syaikh (guru). Atau di depan orang lain yang bisa membantunya. Kemudian dengan cara demikian, dia bisa memiliki hafalan yang mutqin. Kemudian setelah itu dia ulang-ulang hafalannya dengan baik. Kemudian dia menjadwalkan waktu-waktu untuk mengulang hafalan yang telah berlalu. Sehingga menjadi hafalan yang kokoh dan kuat.” (Al-Mu’lim bi Adabil Mu’allim wal Muta’allim, hal. 83)

Menghafalkan hadis-hadis Nabi

Selain menghafalkan Al-Qur’an, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan hadis-hadis Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Karena hadis adalah sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Qur’an.

Menghafalkan hadis-hadis juga memiliki keutamaan yang besar. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

نضَّرَ اللَّهُ امرأً سمِعَ مَقالتي فبلَّغَها فربَّ حاملِ فقهٍ غيرِ فقيهٍ وربَّ حاملِ فقهٍ إلى من هوَ أفقَهُ مِنهُ

“Allah akan memberikan nudhrah (cerahnya wajah) kepada seseorang (di dunia dan di akhirat) yang mendengarkan sabda-sabdaku, lalu menyampaikannya (kepada orang lain). Karena betapa banyak orang yang membawa ilmu, namun sebenarnya tidak memahaminya. Dan betapa banyak orang disampaikan ilmu itu lebih memahami dari pada yang membawakan ilmu kepadanya.” (HR. Ibnu Majah no. 2498, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memotivasi umat untuk menghafalkan hadis. Bahkan beliau menegaskan kepada kita untuk menghafalnya dengan mutqin, sehingga kita tidak menyampaikan hadis secara makna. Beliau bersabda dalam riwayat lain,

فحفظها فأداها كما سمعها

“ … Sehingga dia bisa menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya.”

Kemudian perkataan [Allah akan memberikan nudhrah], maksudnya adalah nadharah, yaitu: bagusnya wajah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah mereka pada hari itu dalam keadaan nadhirah (cerah), memandang kepada Rabb mereka.” (QS. Al- Qiyamah: 22-23)

Karena ketika para hamba memandang kepada wajah Allah Ta’ala, maka wajah mereka pun bertambah indah dan bagus. Nadharah yang disebutkan dalam hadis di atas diperselisihkan oleh para ulama maknanya dalam dua pendapat, yaitu:

Pertama, mereka akan dikumpulkan di hari Kiamat dalam keadaan wajah mereka memancarkan cahaya, seperti matahari. Dikarenakan dia menghafalkan as-sunnah (hadis). Semakin banyak hadis yang dia hafalkan, semakin Allah tambahkan cahaya di wajahnya dan Allah akan menerangi dia dengan cahaya sunnah. Oleh karena itu, ahlus sunnah di wajah mereka ada cahaya.

Kedua, sebagian ulama mengatakan, pada wajah orang-orang ahlus sunnah terdapat cahaya yang ini terjadi di dunia. Karena Allah Ta’ala menjadikan cahaya dan kecerahan pada wajah mereka. Maka wajah mereka adalah wajah-wajah kebaikan. Jika Engkau melihat wajah salah seorang dari ahlus sunnah, maka hati Anda akan tenang. Anda akan mengetahui bahwasanya itu adalah wajah orang yang baik dan saleh. Karena ubun-ubun dan wajah itu mengikuti amal perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

“Ubun-ubun (orang) yang pendusta dan berbuat dosa.” (QS. Al-‘Alaq: 16) (Syarh Zaadil Mustqani’, 30: 368)

Menghafalkan hadis-hadis Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga dimulai dari yang mudah-mudah dan yang ringkas terlebih dahulu. Yang paling disarankan adalah sebagai berikut,

  1. Hafalkan hadis-hadis dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Imam An-Nawawi rahimahullah, lalu
  2. Hafalkan hadis-hadis dalam kitab ‘Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah, lalu
  3. Hafalkan hadis-hadis dalam kitab Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, lalu
  4. Hafalkan hadis-hadis dalam kitab Al-Adabul Mufrad, karya Imam Al-Bukhari.

Setelah itu baru bisa menghafalkan Kutubus Sittah dan kitab-kitab hadis yang lebih tebal lagi. Dan ini pun hendaknya dibimbing oleh seorang guru yang bisa mengoreksi atau membetulkan bacaan dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah dia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga menjadi motivasi bagi kita semua. Wallahu waliyut taufiq was sadaad.

Baca Juga:

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/61918-hafalkanlah-al-quran-dan-hadits.html